BERITAACEH, Aceh Besar | Sedang menjadi buah bibir terkait penerimaan PPS (Panitia Pemilihan Pemilu) menjelang Pilkada yang sarat kepentingan.
Dibalik hiruk pikuk cerita-cerita sumbang terkait penerimaan PPS, juga terdengar berbagai persoalan terkait penunjukan 3 anggota sekretariat di gampong-gampong yang katanya penunjukannya menjadi hak Keuchik gampong bersangkutan.
Tiga orang yang akan ditempatkan di gampong itu biasanya akan ditunjuk namanya oleh keuchik gampong untuk dimasukan ke PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan). Meski begitu, ada juga tiga orang peganti yang ikut diumumkan KIP (Komisi Idependen Pemilu) jika anggota PPS terpilih mundur atau tidak bisa melaksankan tugas.
Sehingga, tiga orang peganti ini oleh sebagian gampong langsung diangkat sebagai anggota seketariat menginggat sudah lulus kualifikasi dari KIP. Namun sebagian gampong lain memilih orang tertentu, seperti istri keuchik, sekdes, maupun orang lainnya.
Dilema penunjukan seketariat ini di gampong-gampong Aceh terus berlanjut hingga PILKADA (pemilihan Kepala Daerah) ke depan ini.
Di sebuah Gampong yang tanahnya dihapit oleh Samudra Hindia ini, saya mendengar cerita yang lain dari yang lain.
Cerita tentang istri kepala desanya memilih menganti namanya dengan orang lain meski dirinya berhak menjadi anggota kesekretariatan pilkada di Gampong Saney. Hal ini bertolak belakang dengan berita-berita yang jadi perbincangan masyarakat sekitar tentang sebagian keuchik lebih mementingkan istrinya menjadi sekretariatan dari pada orang lain yang sudah bersusah payah ikut ujian menjadi anggota PPS.
Di sore Senin (28/05/2024) yang agak mendung itu, saya menemui lelaki berbadan tidak gemuk sedang duduk tanah kebunnya. Bercelana kain coklat, dan bersinglet (baju dalam) putih nampak basah dengan keringat.
Di umurnya yang menyentuh 50 tahun dia masih menyangkul membuat bedengan sebagai persiapan menanam bawang merah di lahan 2000 meter persegi. Bekerja sebagai petani tetap dilakoni seperti biasa meski notabennya sebagai Keuchik Gampong Saney sedang dia emban selama 2 tahun belakangan ini.
Di lahan yang sedang dia cangkul tanahnya itu kami duduk bersama berbincang terkait berita istrinya yang memberikan kesempatan pada orang lain untuk mengantikannya. Dia menjawabnya dengan senyum.
“Meski bukan PPS terpilih cuma peganti, tapi sudah jadi aturan tidak tertulis di Gampong Saney, siapa yang tertulis namanya sebagai peganti akan secara otomatis akan jadi anggota sekretariatan seperti pileg tahun lalu,” jelasnya.
Dia bercerita, tahun lalu, dalam pemilihan legeslatif, istrinya tidak ikut terpilih meski dalam peganti, sehingga untuk menghormati warganya yang telah bersusah payah ikut ujian PPS tetap dilantiknya menjadi seketariat, meskipun istrinya sendiri menangis sedih karena tidak dilantik.
“Seharusnya keuchik punya jatah menunjuk satu orang sekretariat gampong untuk pilpres dan pileg belakang, namun sebagai keuchik, saya harus memetingkan warga daripada keluarga saya sendiri, Alhamdulillah dia bisa mengerti, “katanya.
Cerita itulah yang menjadi menarik saat ini ketika tiba-tiba terdengar istrinya memilih mengudurkan diri dan mempersilahkan warganya yang lebih mampu dan memerlukan jerih dari menjadi sekretariatan gampong untuk pilkada.
Kebesaran jiwa yang langka terjadi ini menjadikan cerita terkait mundurnya istri keuchik Nazaruddin yang biasa di sapa Keuchik Bukhari ini menjadi menarik ketika kebanyakan cerita yang beredar keuchik-keuchik lebih memetingkan istrinya sendiri menduduki jabatan sekretariat gampong.
Sebuah keputusan yang biasa mungkin bagi orang-orang ‘besar’. Namun keputusan tersebut, menjadi luar biasa dikalangan masyarakat ‘kecil’ yang bermimpi mencapai hal yang kecil pula. Dimana menjadi sesuatu yang kecil, disesuatu yang besar.
Ketika kebanyakan keuchik lebih memakai kekuasaanya demi kepentingan pribadi, namun lain dengan Keuchik Saney, Lhoong, Aceh Besar ini lebih memetingkan orang yang mampu bekerja dan lebih membutuhkan pendapatan daripada istri maupun dirinya.
Di akhir perbincangan, dia menatap jauh kedepan dengan keringat masih menempel di wajahnya. Keputusan mundur itu, berdasarkan inisiatif istrinya sendiri tanpa campur pikirnya meski dia mengaku terbersit memikirkan yang sama.
“Saya tidak salah memilih istri menemani hidup saya. Dia punya hati nurani memetingkan orang yang lebih membutuhkan, seperti yang sering saya nasehatkan padanya. Saya bangga punya istri seperti itu, “tuturnya dengan bangga.
Kehormatan sebagai pemimpin telah dia peroleh dengan melakukan hal besar bagi orang-orang Kecil, dan berdampak besar bagi jiwanya yang terasa semakin besar dimata saya. Dan istrinya telah berhasil menegakan kepala seorang suami dimata masyarakatnya.
“Saat memilih menjadi, keuchik, saya telah berjanji pada diri saya sendiri untuk mengutamakan kepentingan warga dari pada diri saya sendiri,” tuturnya lagi.
Perawakan Keuchik Bukhari yang tenang dan kalimat tersusun rapi saat berbicara, menyiratkan dia memang pantas menjadi keuchik. Kebesaran jiwa demi satu keputusan itu menempatkan rasa hormat pada dirinya semakin besar.
Jiwa yang besar di badan yang kecil. Mungkin kata itu yang pantas disematkan pada dirinya. [Rahmat]