Aceh Besar – Akses jalan menuju Makam Syeikh Hamzah al-Fansuri di kawasan Ujung Pancu, Aceh Besar, tampak tidak terurus. Padahal, makam ini merupakan salah satu bukti sejarah penting yang dikenal hingga ke berbagai negara. Kondisi ini memunculkan keprihatinan dari berbagai pihak yang menilai bahwa perhatian terhadap situs-situs sejarah di Aceh masih minim.
Saat menelusuri lokasi, media ini menemukan bahwa jalur menuju makam ulama sufi tersebut sulit dilalui. Jalan yang rusak dan kurangnya fasilitas pendukung membuat makam bersejarah ini semakin terabaikan. Padahal, Syeikh Hamzah al-Fansuri adalah tokoh penting dalam perkembangan keilmuan Islam dan sastra Melayu pada abad ke-16.
Menurut catatan sejarah, Syeikh Hamzah al-Fansuri dikenal sebagai seorang ulama yang mahir dalam berbagai disiplin ilmu, seperti fikih, tasawuf, filsafat, mantiq, dan ilmu kalam. Selain itu, beliau juga menguasai sejarah serta berbagai bahasa, termasuk Arab, Persia, Urdu, Melayu, dan Jawa. Pemikirannya yang mendalam menjadikannya salah satu sastrawan sufi terkemuka yang pertama kali menulis tentang konsep panteisme dalam bahasa Melayu.
Namun, meski memiliki nilai sejarah yang tinggi, kondisi makamnya justru jauh dari kata layak. Ketua Forum Bersama Aceh Meulaboh, M Jafar, mengkritik pemerintah Acèh dan kabupaten yang terkesan mengabaikan situs-situs bersejarah di Aceh. Menurutnya, pelestarian sejarah sangat penting agar generasi mendatang tidak kehilangan identitas dan pengetahuan tentang warisan leluhur mereka.
“Kita harus menjaga bukti sejarah ini agar tidak dihapus atau dilupakan oleh oknum-oknum yang ingin menghilangkan jejak sejarah Aceh. Jangan sampai anak cucu kita tumbuh tanpa mengetahui warisan nenek moyang mereka,” ujarnya.
Ia juga meminta para peneliti sejarah untuk tidak hanya diam, tetapi segera mempublikasikan temuan mereka kepada masyarakat. Dengan begitu, sejarah Aceh bisa lebih dikenal luas dan tidak hanya menjadi kajian akademik semata.
Menurutnya, Aceh memiliki banyak situs bersejarah yang perlu dijaga dan direstorasi. Namun, tanpa adanya perhatian dari pemerintah, bukti-bukti sejarah ini bisa lenyap seiring berjalannya waktu.
Maka dari itu, ia berharap pemerintah yang baru dapat memberikan perhatian lebih terhadap pelestarian situs-situs bersejarah di Aceh. Anggaran khusus seharusnya dialokasikan untuk renovasi dan pembangunan akses menuju makam ulama serta pejuang Aceh.
Selain perbaikan jalan, ia juga menyoroti perlunya fasilitas pendukung di sekitar makam. “Harus ada sarana jalan yang baik, toilet, bak penampungan air bersih, serta tempat singgah yang memadai bagi peziarah,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa sejarah memiliki peran penting dalam menjaga kedudukan Aceh sebagai daerah yang kaya akan warisan budaya dan peradaban Islam. Oleh karena itu, perhatian terhadap situs sejarah tidak boleh diabaikan.
Masyarakat Aceh berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan situs-situs bersejarah yang masih tersisa. Jika tidak, dikhawatirkan banyak peninggalan sejarah Aceh yang akan hilang tanpa jejak di masa depan.
Pelestarian sejarah bukan hanya tentang menjaga peninggalan fisik, tetapi juga memastikan bahwa generasi mendatang dapat belajar dan menghargai perjalanan panjang perjuangan dan kebudayaan Aceh.