BERITAACEH.co, Lhokseumawe – Sultan Jauharul ‘Alam Syah bin Muhammad Syah adalah Sultan Bandar Aceh Darussalam yang kemudian pindah dan menjadi penguasa Kota Pelabuhan dan perdagangan dunia Teluk Samawi pada awal abad ke 19 yang kini dikenal dengan sebutan Kota Lhokseumawe.
Beliau hengkang ke kawasan pulau kecil Teluk Samawi di kawasan pantai timur Aceh akibat pergolakan yang muncul untuk menjatuhkannya pada waktu itu. Di sana, Sultan yang memiliki wawasan luas dan cakap berbahasa Inggris ini, memperoleh dukungan penuh dan dilindungi oleh penguasa Teluk Samawi, Tuanku Karot.
Baca Juga: Koin Teluk Samawi Dalam Amatan Filolog
Kemudian Sultan menerbitkan mata uang “keuh” atas namanya dengan disertai tahun dan negeri tempat dicetak: 1229, Teluk Samawi. Kini koin tersebut mata uang yang langka, dan saat ini berada dalam koleksi Bidang Kebudayaan, Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan Aceh Utara.
Menurut Dr Saifuddin Dzuhri Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Lhokseumawe, dulu Teluk Samawi dikenal sebagai pusat pemerintahan di akhir kekuasaan Kerajaan Aceh.
“Saat itu Sultan Jauharul ‘Alam Syah bin Muhammad Syah pindah ke Teluk Samawi dari kota pemerintahannya, Bandar Aceh Darussalam. Beliau adalah Sultan Aceh yang sangat cerdas dan mampu menguasai bahasa Inggris. Pindah ke Teluk Samawi karena terjadi pergolakan dan akibat rial/uang dan kapal,” ungkap Saifuddin dihadapan peserta Kajian Numismatik Teluk Samawi yang digelar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe di Hotel Lido Graha, Lhokseumawe, Selasa (26/7/2022).
Baca Juga: Pemko Lhokseumawe Gelar Diskusi Koin Teluk Samawi
Ia menilai Koin Teluk Samawi karena dibuat khusus oleh Sultan yang memiliki kecerdasan yang luar biasa.Koin Teluk Samawi mempunyai keanehan pada ornamen dan inskripsi.
“Biasanya, koin Kesultanan Aceh itu mempunyai kesamaan konten dalam kedua sisinya.
Bagian sisi muka nama sultan dan di sisi belakang gelar sultan seperti ‘sultan al adil’ dan tanpa ada nama tempat. Nah, koin Teluk Samawi di sisi muka nama Sultan Jauhar Alam Syah dan sisi belakang nama Teluk Samawi dan tahun 1229,” ungkapnya.


Menurutnya, penamaan Teluk Samawi dan tahun inilah yang menjadi pembeda dengan koin lainnya dalam Kesultanan Aceh.
Sementara itu, Hermansyah Dosen Fakultas Adab dan Humaniora Ar-Raniry dan juga Filolog mengungkapkan hasil manuskrip tentang Teluk Samawi, bahwa pada masa Kesultanan Aceh ada beberapa mata uang yang digunakan sebagai alat tukar.
Baca Juga: KCP Bank Aceh Lawe Desky Diresmikan, Ini Kata Bupati Aceh Tenggara
Di antaranya dirham (terbuat dari emas), kupang (terbuat dari perak), busok (terbuat dari perak), serta keuh (terbuat dari timah atau kuningan). Selain itu juga digunakan dolar atau ringget, meuriam atau ringgit Spanyol, gulden Belanda, busok, dan riyales atau reil.
Ketua Lembaga Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Aceh ini menjelaskan bahwa sebagian besar kolonial penjajah ingin mata uang mereka yang digunakan di negeri jajahannya dan dapat digunakan untuk perdagangan dan lainnya, termasuk ketika menjajah kawasan Aceh dan Kota Lhokseumawe.
“Koin Teluk Samawi tidak terlepas dari teritorial yang dinamai Teluk Samawi sebagaimana judul buku Kapten Laut Belanda, Von Schmidt, yaitu Telok Semawe De Beste Haven op Atjeh’s Noordkust (Teluk Semawe Pelabuhan Terbaik di Pesisir Utara Aceh) pada tahun 1887,” kata Hermansyah. (ADV)