BERITAACEH, Banda Aceh – Aceh dikenal dengan sebutan Negeri Serambi Mekkah. Adat istiadat dan peradaban budaya dijunjung tinggi nilai-nilai Syariat Islam. Aceh memiliki khazanah penyebaran Islam hingga ke pelosok Nusantara.
Puncak kegemilangan terakhir di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda. Namun karya-karya Ulama Aceh masih tercatat dan tersimpan berbagai kitap dan manuskrip Naskah kuno, hasil tulis tangan para ulama abad ke-16.
Seperti yang diceritakan tokoh Budayawan Aceh Tarmizi Abdul Hamid, pengumpulan Kitab dan Naskah kuno bermula dari warisan sang kakek di Pidie tahun 1995, sebanyak 10 naskah disimpan dirumahnya. Akhirnya, mencari lembaran naskah lainnya yang masih tersebar dikalangan masyarakat hingga ke seluruh Aceh.
“Tidak turun sendiri ke masyarakat, dia menempatkan beberapa orang di gampong-gampong untuk mencari informasi keberadaan naskah,” Ceritanya di Stand kata Tarmizi Hamid, di Stand Rumoh Manuskrip Aceh, di Ie Masen Kayee Adang, Banda Aceh pada, Selasa, 7 November 2023, pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke-8.
Sambung Tarmizi, jika sudah didapat, maka dialah yang akan bernegosiasi dengan sang pemilik tentang uang ganti rugi. Uang kompensasi tersebut juga diberikan dengan merongoh koceknya sendiri.
“Kita ingin menyelamatkan teks itu, jadi kita berilah uang ganti rugi pada mereka. Kadang mereka masih simpan tapi tidak terlalu dirawat. Paling banyak ada di Ulim, Perlak, Sigli, dan Aceh Besar,” sebutnya.
Hingga tahun 2023, berhasil mengumpulkan sebanyak 600 naskah yang menjadi koleksinya. Disamping 115 naskah yang hilang akibat tsunami tahun 2004 silam. Selama 28 tahun ini, sudah puluhan juta rupiah yang dia keluarkan untuk mendapatkan kitab-kitab kuno tersebut.
“Hobinya mengoleksi artefak sejarah ini awalnya ditentang oleh keluarganya. Karena menghabiskan banyak uang pribadi. Akan tetapi melihat banyaknya peneliti dari luar dan dalam negeri yang berkunjung untuk membaca naskah dirumah, mereka perlahan pihak keluarga mulai menerima,” jelasnya.
“Akhirnya mereka sadar bahwa ini adalah harta karun yang berharga,” ungkapnya.
Manuskrip kuno yang ada di tangan sudah berusia lebih dari 400 tahun. Kebanyakan koleksinya adalah kitab ilmu tasawuf karya Syech Nurruddin Ar-Raniry, Syech Abdurrauf As-Singkili dan ulama lainnya.
Kitab ternama lainnya adalah Mir’at Ath-Thulllab karya Syech Abdurrauf Al-Fansuri berisi tentang fiqih kontemporer yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiatuddin Syah.
“Kitab ilmu lain yang dimilikinya adalah Ilmu Alam, Perobatan, Ilmu gerak Tubuh, Kitab tentang Perang serta Syair Munajad Wanita Sufi karta Pocut di Beutong,” Ungkapnya.
Tarmizi juga mengoleksi 4 mushaf Al-Quran ukuran 32×31 cm hasil tulis tangan dilengkapi dengan ukiran (illuminasi) khas Aceh pada dua lembar bagian awal, tengah dan akhir.
Alquran ini ditulis khusus atas permintaan raja Aceh pada abad 17 M. Masa Sultan Iskandar Muda, para ulama berlomba-lomba menuliskan naskah yang orientasinya tasawuf.
“Raja pun mengimpor kertas-kertas dari eropa sebagai media untuk menulis,” sebutnya.
Semua kitab ditulis dengan aksara Arab Jawi naskah ini dapat dibaca dalam tiga bahasa, yakni Bahasa Aceh, bahasa Melayu dan Bahasa Arab. Ketiga bahasa ini menjadi bahasa nasional Kerajaan Aceh Darussalam.
“Dalam satu naskah ada yang ditulis dengan ketiga bahasa ini. Seperti kumpulan karangan tekait budaya, adat istiadat, dan Islam yang ditulis dalam bahasa melayu dicampur bahasa Aceh,” paparnya.
Lembaran naskah ini pun sudah mulai berwarna kecoklatan dan pingirannya tampak hitam karena jamur. Beberapa diantaranya bahkan ada yang sudah berlubang karena disantap rayap dan kutu buku. Meski demikian tulisan dalam kitab tersebut masih jelas dan tidak pudar meski sudah berusia hampir empat abad lebih.
Tarmizi mengakui kelihaian orang Aceh pada masa dahulu. Para endatu dulu tahu bagaimana mengorder kertas-kertas dari Eropa yang sesuai dengan kondisi alam Aceh, sehingga naskah-naskah ini bisa bertahan hingga ratusan tahun.
“Tinta yang dipakai oleh ulama saat itu terbuat dari rendaman bijih besi, jadi tidak ada pudar. Namun ada beberapa lembaran yang tintanya terurai karena zat asam tinta yang terlalu tinggi,” paparnya.
Tarmizi mengakui, sosok dirinya bukan ahli membaca naskah kuno, juga bukan sejarawan. Namun dirinya ingin menyelamatkan bukti sejarah Aceh yang makin gencar diburu kolektor luar negeri.
“Koleksi yang ada padanya hanya tidak sampai sepertiga dari jumlah seluruh koleksi kejayaan aceh yang kini beredar di luar negeri,” urainya.
Tarmizi menyebutkan, banyak naskah-naskah kuno Aceh paling banyak terdapat di Malaysia dan Brunai Darussalam. Beberapa juga ada di Australia.
Riwatyat PKA dari Masa ke Masa
PEKAN Kebudayaan Aceh (PKA) merupakan ajang perhelatan kebudayaan terbesar masyarakat Aceh untuk melestarikan nilai-nilai budaya, sejarah, dan adat istiadat Aceh yang telah diadakan sejak tahun 1958, 1972, 1988, 2004, 2009, 2013, 2018, 2023. PKA VIII akan dilaksanakan pada tanggal 04 – 12 November 2023, lokasi pelaksanaannya di Taman Sulthanah Safiatuddin, Banda Aceh. Mengangkat tema “Jalur Rempah” dengan tagline “Rempahkan Bumi Pulihkan Dunia”. (ADV)